Merdeka! Pekikan ini sempat menjadi sangat populer di negeri kita. Setiap bulan Agustus kita mengenang peristiwa kemerdekaan bangsa Indonesia. Umbul-umbul dipasang sebagai perhiasan. Pesta rakyat digelar di berbagai daerah. Sungguh meriah. Menunjukan betapa “kemerdekaan” itu sangat menggembirakan.
Namun sebagai anak negeri, kita semua perlu diingatkan, bahwa perjuangan kita belum selesai. Penjajah telah dikalahkan, bukan berarti tugas kita telah usai. Kita harus mengisi kemerdekaan itu dengan “cara hidup merdeka” pula.
Memang, dahulu kita adalah orang-orang terjajah. Kita terikat oleh dosa dan pelbagai hukum yang bukan memerdekakan, sebalik menjajah kita. Sampai akhirnya, karena kasih karunia Allah, Kristus datang membebaskan kita. Masalahnya ialah, kita seringkali lupa bahwa kita telah dimerdekakan sehingga kita kembali hidup menghambakan diri bukan kepada Kristus, sang Pemberi kemerdekaan, melainkan kepada pejajah lama kita.
Teks Galatia 2:11-14 ini sedang bicara tentang peristiwa Paulus menegur Petrus yang berperilaku keliru, yg sangat bertentangan dgn Injil Kasih Karunia.
Petrus mundur dari persekutuan dengan jemaat yang berlatarbelakang non-Yahudi ketika rombongan Yakobus tiba di Antiokhia. 
Mengapa Petrus melakukan kekeliruan ini? Sepertinya Petrus masih dipengaruhi anggapan bahwa tradisi Yahudi (=sunat) lebih penting daripada Injil. Sebaliknya Paulus menyatakan konsistensi imannya dengan berani menegor keras dan terbuka kepada Petrus yang tergolong seniornya (ayat 11,14). 
Pada prinsipnya, hukum Taurat tidak dapat menyelamatkan manusia berdosa. Hanya kasih karunia dalam Kristus yang membenarkan seseorang. Kasih karunia dalam Kristus inilah yang mengubah inti kehidupan orang yang percaya. Hidup Kristus ada di dalam hidupnya (ayat 16-20). 
Sikap Petrus sebagai salah seorang pemimpin gereja mempengaruhi orang-orang lain sehingga mereka juga terseret dalam kemunafikannya (ayat 13). Kalau hal ini dibiarkan dapat mengacaukan dan merusak persekutuan Injil yang sudah Paulus rintis dan bina selama ini di Antiokhia. 
Kristus telah memberikan kemerdekaan yg penuh kepada semua org yg percaya kepada-Nya. KematianNya di Kalvari telah membayarnya (menebus) dgn harga yg pantas, yakni darah yg mahal. PenebusanNya telah membawa kita keluar dari pasar dosa, dan akhirnya memberikan pembebasan secara penuh. 
Hasil dr penebusan Kristus adalah menjadikan kita org yg sepenuhx merdeka. Ingatlah bahwa dalam Kristus kita bebas. Kekristenan bukanlah agama yg berdasarkan “hukum” seperti Taurat, namun berdasarkan kasih karunia. 
Bahkan secara esensi Kristen bukanlah agama. Sebab agama adalah upaya manusia untuk mencari Tuhan, sedangkan kekristenan ialah tindakan Allah (datang ke dunia) untuk mencari manusia.
Jadi, dasar perilaku Orang Percaya adalah Indikatif (posisi yg diberikan), lalu hasilx Imperatif (ada perintah). Bukan sebaliknya.
Petrus dalam hal ini, paling tidak jatuh dalam tiga hal: (1) Ekslusivisme (Yahudi); (2) Legalistik (Taurat & sunat); (3) Hipocricy (kemunafikan)
Hal Inilah yg membuat Paulus geram dan secara terang2an menegurnya.
Semua orang sama di mata Allah. Org Yahudi maupun non Yahudi. Semua berasal dr kelompok org berdosa.
Kita tidak melakukan kebaikan supaya mendapat kapling di sorga, namun justru karena kita adalah penghuni sorga yg diberi tugas untuk membawa sebanyak mungkin org ke sana maka kita harus menjadi baik.
Ingatkah saudara lirik ini? “dunia ini panggung sandiwara…” kalau org berakting di dalam film itu wajar dan seharusnya, tetapi bagaimana jikalau itu dilakukan di dunia nyata, itu namanya “munafik.” Hiduplah tanpa topeng.
Kemerdekaan Sejati bukanlah soal keadaan semata tapi terlebih soal kelakuan.
Hiroo Onoda adalah salah satu serdadu Jepang pada Perang Dunia II yang tidak menyerah meskipun negaranya sudah kalah. 
Usianya kala itu 23 tahun. Hiroo Onoda termasuk di antara serdadu-serdadu Jepang yang diterjunkan ke Pulau Lubang, pulau kecil di barat Filipina. 
Menjelang keberangkatan, sang komandan menegaskan kepada mereka: “Kalian dilarang menyerah pada kematian. Entah tiga tahun atau lima tahun, kami akan kembali untuk menjemput kalian. Bertempurlah hingga saat itu dan bahkan jika pasukanmu hanya tinggal satu orang. Jika di sana hanya ada kelapa, hiduplah hanya dengan kelapa. Tidak ada alasan untuk menyerah atau mengakhiri hidup!” Onoda memegang teguh janji sang komandan, hingga 29 tahun kemudian.
Beberapa bulan kemudian, tentara sekutu menyerang pulau tersebut. Onoda dan teman-temannya terpukul mundur. Mereka tercerai-berai dan melarikan diri ke dalam hutan. Di hutan itulah mereka hidup seadanya. Kadang-kadang mereka turun ke desa untuk mencuri makanan.
Pada Agustus 1945, Onoda dan kawan-kawan menerima pesan dari penduduk desa bahwa perang telah usai. Berulang kali pesawat Amerika menabur selebaran yang memerintahkan para serdadu Jepang keluar dari persembunyian mereka karena perang telah usai.
Onoda dan kawan-kawannya tidak mau percaya begitu saja. Mereka menduga itu hanyalah taktik licik Amerika untuk memaksa mereka keluar.
Satu per satu rekan Onoda akhirnya menyerah atau meninggal. Bahkan pada tahun 1953, mereka tinggal tersisa dua orang, Onoda dan Kozuka. Keduanya bertahan hidup bertahun-tahun di pulau tersebut, menolak untuk menyerah. Hingga akhirnya pada Oktober 1972, sembilan belas tahun kemudian, Kozuka tewas ditembak polisi Filipina ketika sedang mencuri makanan.
Berita tewasnya Kozuka disampaikan ke Jepang. Pemerintah Jepang pun menduga bahwa masih ada beberapa serdadu Jepang yang bersembunyi di pulau tersebut. Tim pencari pun dikerahkan namun mereka tidak berhasil menemukan Onoda.
Seorang mahasiswa Jepang bernama Norio Suzuki terobsesi dengan cerita tersebut. Maka pada 1974 dia pun memutuskan seorang diri berangkat ke Pulau Lubang untuk mencari serdadu Jepang yang tersisa.
Suzuki berhasil bertemu dengan Onoda dan membujuknya pulang ke Jepang. Namun Onoda terus menolak. Dengan alasan dia hanya mau menyerah apabila diperintahkan oleh sang komandan.
Dua minggu kemudian Suzuki kembali ke Pulau Lubang bersama Mayor Taniguchi, salah seorang perwira tinggi Jepang pada Perang Dunia II. Pada waktu itu, Mayor Taniguchi sudah alih profesi menjadi seorang pedagang buku. Lewat pengeras suara, Taniguchi menyerukan kepada Onoda untuk segera menyerah karena Jepang sudah kalah perang. Dengan berpakaian lengkap, Onoda mengakhiri pertempuran selama hampir 30 tahun.
Onoda telah bebas tugas selama lebih dari 20 tahun. Namun ia tetap bertahan, ia tidak mau menyerah dan memilih berjuang sendirian, hingga ada yang memberitahu bahwa perang telah usai, dan menjemputnya pulang sebagai prajurit yang telah bebas tugas.
Bukankah banyak orang Kristen yg mirip dgn Onoda? Mereka berpikir bahwa kita masih ada dalam ikatan dosa dan tuntutan hukum dosa. Bisa jadi Org Percaya seperti ini tdk tau akan posisi baru mereka, atau juga mungkin tidak mau “menyerah.”
Sudahkah saudara hidup sebagai orang merdeka?
Amin

Penulis: pieter_gos

i'm pastor, lecture, evangelist, and blogger. I enjoy sharing.